Si hitam pekat itu, merusak semangat yang ada. Mau tidak mau, ya, harus mau. Demi tugas kampus, sekarang aku berada di sini. Di sebuah cafe yang—kebanyakan—penghuninya para lelaki semua.
“Mau pesan apa, Dik?” seorang pemuda dengan wajah oval, bertanya kepadaku.
“Jus jeruk aja, satu.” Aku berkata sembari menyapu pandangan keseluruh arah cafe.
Aneh. Minuman hitam itu ternyata begitu banyak peminatnya. Bahkan, di sudut kanan cafe seorang perempuan juga memesan minuman hitam itu.
“Makasih, Bang,” kataku, sambil pemuda bermuka oval meletakkan minuman di atas meja. “Oh, iya, boleh tanya-tanya?”
“Boleh. Mau tanya apa, Dik?” ucapnya.
“Ini, pingin tanya-tanya masalah kopi. Boleh?” kataku.
“Hmm, boleh,” garis senyuman yang indah, untuk dipandang, “kenapa mau tanya tentang kopi?”
“Buat tugas kampus. Hmm ... kopi itu rasanya gimana, sih? Enak, ya?” tanyaku penasaran.
“Belum pernah minum, ya?” tanyanya.
“Belum,” ucapku sembari melirik dirinya.
“Maunya tadi pesan kopi aja. Biar tahu rasa kopi itu apa,” lanjutnya.
“Qilla enggak suka, kopi! Nanti malah nggak bisa tidur,” jawabku sembari mencicipi jus jeruk.
“Ooo ... namanya Qilla,” katanya sembari tersenyum, “kopi itu rasanya ... campur aduk, La.”
“Campur aduk?” kulit jidatku berkerut tanda tak mengerti.
“Iya, rasanya, pahit, manis, dan ada rasa asamnya juga, tetapi sepertinya pahit lebih dominan deh!”
“Oh, gitu ya? Sepertinya nggak enak. Tapi, banyak peminatnya, ya!”
“Enak kok, Qilla aja yang belum rasa,” lanjutnya.
“Enggak enak, deh Bang. Pahit gitu, asam lagi!” ucapku.
“Iya, sih pahit. Asam. Tapi manis juga loh, La,” lanjutnya,